Aku percaya, bahwa manusia diciptakan
saling berpasangan. Tapi menjelang kepala empat, kenapa pasanganku tak juga
tiba. Apakah ia tersesat di tengah jalan saat menuju, untuk menemukanku?
Ataukah memang aku harus melewati usia empat puluh untuk menemukan belahan
jiwa?
Sruttt ... srutt ...
Dia memanggilku. Aku bangkit dari ranjangku, dan berdiri menuju balkon. Menghirup udara dingin, di malam hari. Langit malam selalu menenangkan, sayangnya bulannya hanya tinggal sepotong. Kerlip-kerlip bintang yang bertebaran seolah menyemangati bulan yang hampir kehilangan cahayanya.
"Ada cerita apa malam ini,
Bay?"
"Entahlah. Aku merasa lelah!" ungkapnya tak seperti biasanya, bercerita menggebu-gebu. Apakah ia terlalu repot hari ini, terbang ke sana- ke mari memberikan kesejukan yang berarti.
"Ternyata kau bisa lelah
juga?" aku bertanya keheranan.
"Harusnya tidak boleh mengeluh,
tapi kukatakan dengan jujur aku muak sekali dengan apa yang kulihat hari ini.
"Memangnya ada apa hari
ini?"
Di utara sana, ada seorang manusia,
yang ingin kuseret jika bisa!"
"Jangan marah. Buang-buang
energi saja. Memangnya ada apa dengan dia? Kamu bisa semarah itu?
"Dia begitu naif. Bilangnya
cinta mati dengan istrinya, di luaran sana ia asik bermanja-manja dengan wanita
yang baru ditemui beberapa jam saja. Andai aku bisa melakukan sesuatu, untuk
memberinya pelajaran!"
"Apa yang akan kamu lakukan?
Kalau memang bisa?" tanyaku penasaran, ia tidak pernah semarah ini.
"Ya paling tidak, aku ingin bisa
membisikan ke telinga istrinya. Agar bisa mengikutiku, mencari keberadaan
suaminya. Kalau tak usahlah bersetia, kepada lelaki macam dia!"
"Hahaha ... kamu ini! Sudahlah, urusanmu jauh lebih penting, ketimbang ngurusin
urusan orang. Energimu sangat dibutuhkan untuk terbang jauh," kataku
mengingatkannya, "Tapi, dari mana kamu tahu kalau dia itu sudah
beristri?" Bayu menyeringai, hembusannya sampai ke tengkuk membuat
merinding.
"Aku mendengar dengan jelas,
ketika lewat. Dia mendapat telepon, ternyata istrinya meminta dibelikan pesanan
rujak. Sepertinya sedang ngidam!"
"Aneh. Kenapa ia tidak
buru-buru, harusnya kan senang kalau benar istrinya ngidam. Berarti dia akan
punya anak," ucapku menimpali Bayu.
"Lelaki pengkhianat kan? Aku
nggak salah kan? Kalau senewen begini?"
Aku menolehnya, memang benar sih tapi itu bukan jadi urusan kita. Tetapi kurasakan hembusannya memanas. Seakan ada bara api di sana, tapi aku berusaha tetap netral. Ternyata, Bayu bisa marah juga? Namun pelajaran yang kudapat malam ini adalah harus hati-hati dengan yang namanya lelaki. Tapi aku juga tidak menolak untuk dinikahi oleh lelaki. Aduh kenapa aku yang pusing.
***
Mataku tak
juga terpejam, setiap Bayu belum menyapa dan mengajak mengobrol di balkon
jendela, aku selalu tak bisa tidur. Hujan datang tidak terduga, titik-titik
airnya masih terdengar jatuh dan menempel di permukaan kaca. Sayangnya aku tak
bisa berburu pelangi, karena malam belum berganti pagi. Kubiarkan jendela
terbuka, meski rintiknya jatuh mengenai bahu jendela.
Sruttt ...
srutt ...
Tubuhku seketika terbangun, melihat Bayu yang kepayahan di
tengah rintik hujan. "Ah, kukira kau tak datang. Kenapa muram?" kusapa
ia yang tidak bersemangat.
"Aku dari Barat! Aku berharap ada kedamaian di sana,
tapi sama saja! Melelahkan." ungkapnya kesal.
"Ada yang membuatmu tak suka lagi?"
"Benar! Dan ini lebih gila sih, aku tak habis pikir.
Memang ada ya yang demikian?" intonasinya antara percaya dan tidak. "Aku
melihat mereka bercumbu, di Barat sana!"
"Siapa?" tanyaku bingung dengan apa yang ia
bicarakan.
"Seorang lelaki dengan lelaki!"
"Yang benar saja?"
"Kubilang juga apa. Ini gila kan?"
"Kau kenal dengan mereka?" tanyaku penasaran.
"Tumben kamu ingin tahu?" Skakmat.
"Hahaha ... ya tak masalah sih jika tak kau
beritahu".
"Ah, dia. Yang sudah sering wara-wiri di TV, kamu pasti
tahulah!" ucap Bayu dengan polosnya. Aku masih menebak-nebak, tak tahu
siapa yang dimaksud. Tapi percuma saja kalau aku tahu, tidak ada urusannya
denganku.
Dan ketika aku melirik Bayu, lelahnya sudah terusir dengan
perbincangan malam ini. Sepertinya ia merasa lega, karena telah menumpahkan
perasaannya. Ini lebih baik daripada ia terus-terusan memberikan hembusan
panas.
***
Di salah satu sudut kamarku, aku duduk sambil membaca buku. Dongeng tentang sebuah pohon di dekat tepi sungai, pohon tua yang sering jadi pijakan loncatan saat anak-anak desa berendam setelah menggembalakan kambing. Tetapi tidak ada yang tahu, jika setiap malam pohon tua tersebut memperdengarkan suara tangisan.
Sruttt ... srutt ...
Sruttt ... srutt ...
Aku menoleh, oh ... kamu sudah datang? Aku memberi tanda pada buku dongeng pohon tua, lantas menutupnya dan menuju ke balkon jendela dengan membawa segelas kopi.
"Kau kelelahan lagi?' tanyaku lebih dulu tanpa menunggu ia menyapa, "apa sebaiknya kau pensiun saja?"
"Andai kamu jadi aku. Kamu pasti merasakan kegerahan, muak, dan lelah dengan apa yang terjadi dengan jutaan kemunafikan di dunia. Tidak hanya setiap hari ini terjadi, tetapi bisa dalam hitungan jam. Meskipun kau melihat, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandang dan menyaksikan. Betapa menyedihkannya diriku ya kan?" tuturnya panjang lebar.
Aku menyereput kopi panasku, aromanya membuat perasaan menjadi lebih baik.
"Apa kamu merasa menyesal, Bayu?"
"Cukup!"
"Eheheh ... jadi apa cerita yang hendak kau ceritakan?" Entah kenapa setiap mendengarkan celoteh Bayu, aku selalu merasa lebih baik dan lebih mensyukuri dengan hidup yang kujalani.
“Di Timur tadi, saat aku sedang berhembus aku mendengar dua orang tertawa dari balik selimut.”
“Eh ... kau mengintip?”
“Bagaimana ceritanya angin mengintip? Itu kan tugasku,” Bayu membela diri, “lantas apa yang ganjil di antara mereka?”
“Si pria akan menikah besok, dan si wanita juga!”
“Baguslah, mereka berdua akhirnya merasa saling membutuhkan. Mendengar pria mengajak ke jenjang yang lebih serius itu tidak mudah,” kataku memberi tahu.
“Sayangnya bukan mereka pasangannya!”
“Maksud kau bagaimana?”
“Mereka mengakhiri masa lajangnya dengan begitu. Artinya mereka sudah berbuat di luar batas!” ungkapnya geram.
“Baiklah-baiklah. Kau tarik napas, lama-lama bisa dicopot dari tugas nanti kalau sedikit-sedikit marah. Hahaha ...” ucapku meredam suasana.
“Itu tidak lucu!” balas Bayu cemberut.
“Eh ... Maaf! Sebagai seorang Scorpio, aku berusaha sebisa mungkin mendengarkanmu dengan baik. Jangan marahlah! Jadi siapa mereka?”
Bayu kembali antusias.
“Dia Novem! Dan yang kemarin Okto, dan yang sebelumnya lagi Agus!”
Dadaku berguncang, napasku sesak, dan mataku terasa membasah. Tak sengaja secangkir kopiku jatuh begitu saja, dari pegangan tanganku. Bayangan ketiga mahluk lelaki itu berkelebat di pelupuk mata dan pikiran. Lelaki sialan yang memporakporandakan hatiku, membuatku memutuskan untuk menikmati kesendirian yang berujung pada usia empat puluh. Tepat malam ini. Mereka bertiga berhasil mengacaukan hidupku.
“Enyah, Kau!”
***
cerpennya bagus mbak :) saya jadi penasaran sama cerpen2 berikutnya, apalagi ceritanya kayak kisah pribadi gitu saking related nya sama kehidupan kita
BalasHapusBagus ide ceritanya kak, jika punya bakat menulis seperti kakak, saya juga mau jadi penulis novel :)
BalasHapusSeru banger ceritanya, pas baca aku sambil menggambarkan situasi yang ada dicerita dalam otakku.
BalasHapusKisah ini membuat saya merenung dan memaknai kehidupan percintaan yang penuh dengan pelajaran yang bisa diambil, terima kasih untuk tulisan ini
BalasHapusWah ceritanya menarok kak. Semangat terus bikon web novelnya sampai finish ya kak 🤗
BalasHapusHafuuuuh, bersabar nih sambil menunggu kedatangan si belahan jiwa hihi. Tapi kadang sendiri juga seru. Gaharus mikirin sakithati huhu
BalasHapusSungguh,
BalasHapusaku pun ingin mempercayai laki-laki dan membuang semua kegundahan yang ada.
Tapi...
Ketika Bayu mampu menguak segalanya...
Semoga Bayu masih melihat suatu kebaikan di perjalanan panjangnya....
Kisahnya menusuk hati.
HapusDan semua itu menjadi jalinan benang-benang patah hati yang belum juga tertutup sempurna.
Huhu sedih banget. Ya, demikianlah memang dunia ini. Lebih banyak orang kurang ajar daripada yang baik. Tapi jangan pitus harapan, Tuhan tahu dirimu. Nanti akan tiba saatnya datang kepadamu, lelaki baik yang menerimamu, mencintaimu. Mungkin masa lalunya tak begitu baik, tapi masa depannya sangat cemerlang bersamamu. Hehehehe :D
BalasHapusKeren Nyi, ini ditulis pakai hape yaa? Ada beberapa typo sih, ada emot juga hihi
BalasHapusTapi Ceritanya Seru. bayu itu angin ya? Aku kira burung lho awalnya hihi
"Jangan marah. Buang-buang energi saja" setuju banget dengan percakapan ini, kita memang ga usaha buang-buang energi dengan marah-marah. btw alur ceritanya pas akhirnya langsung glek, ternyata orang yang diceritakan Bayu selama ini adalah orang yang dikenalnya, bayangin adegannya mereka mengobrol di depan balkon sambil mendengarkan hujan, jadi kangen keluarga
BalasHapusNah aku ada tenan yang kisahnya mirip. Merasa dan kemudian memutuskan sendiri karna kecewa :(
BalasHapusCerpen yang menarik. Pesannya nangkap eh awalnya saya kira Bayu ini sejenis burung ternyata angin ya.
BalasHapusWah, akhirnya Bayu jadi tokoh ceritanya juga. Hihi
BalasHapusPenasaran kira2 siapa kenapa bisa sampe patah hati begitu. Lama bener melajangnya sampe 40 th. Huwaa. Keren cara berceritanya, nduk. Bikin penasaraaan!
Waduh. Kisah masa lalu yang suram ... semoga dia bisa menemukan pria lain yang lebih baik.
BalasHapusEh..kukira tadinya bercakap dengan burung, ternyata dengan angin alias sang bayu..hehe.. Cakep NYI!
BalasHapuskerennn ceritanya, kisah masa lalu memang terkadang membuat kita kapok ya, mbak. ditunggu ceritanya lagi mbak
BalasHapuswuaahh ini sih sooo relatable bangeettt cerpennya mbaaaa
BalasHapussuper duper kece!
menantikan karya2 ciamik berikutnyaaaa
Waaa ini ceritanya lumayan relate sama beberapa temen temenku mbak hihi, semoga yg belum ketemu jodohnya segera dipertemukan yaaa
BalasHapusAngin ... kamu membawa gosip juga ya, eh fakta deng kan melihat langsung.
BalasHapusTrus ada mantan yang dari nama-nama bulan. It's ok masih ada Janu, Febri, Juno, dkk.
setting di balik jendela itu menarik yaa saya juga beberapa kali pakai setting itu hihi kesannya asik gitu untuk ngobrol. good work, mbak.
BalasHapusSuka ceritanyaaaaa. Dan yg paling aku suka sih tata letak tiap kalimat dan percakapannya rapih dan enak dibaca
BalasHapusUdah lama banget ga nemu cerpen yang ngena kaya gini, ga sabar nunggu cerita cerita lain kak, semangat nulis yaa
BalasHapusMbak Nyi... Ajarin aku nyerpen juga donk. Ini cerita kok ngena banget rasanyaaa. Huhuhu
BalasHapus